Selasa, 26 Juni 2012

ASAL USUL PUASA RAMADHAN

Kata saum makna aslinya berpantang dalam arti sebenar-benarnya (al-imsaku ‘anil-fi’li), mencakup pula
berpantang makan, bicara, dan berjalan. Seekor kuda yang berpantang makan dan berjalan, disebut saim. Demikian pula angin pada waktu mereda, dan siang hari pada waktu mencapai tengah-tengahnya, juga disebut saum (R). Kata saum dalam arti berpantang bicara, digunakan oleh Qur’an Suci dalam wahyu Makkiyah permulaan: “Katakanlah, aku bernazar puasa kepada Tuhan Yang Maha-pemurah, maka pada hari ini aku tak berbicara dengan siapa pun” (19:26). Menurut istilah syari’at Islam, kata saum atau siyam berarti puasa, atau berpantang makan dan minum dan hubungan seksual mulai waktu fajar hingga matahari terbenam.

Aturan puasa dalam agama Islam

Dalam agama Islam, aturan puasa itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban puasa itu ditetapkan di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi Suci biasa melakukan puasa sunnat pada tanggal 10 bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1).

Jadi asal mula adanya aturan puasa dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi Suci masih di Makkah. Tetapi menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar hari itu dijadikan hari puasa (Bu. 30:69).

Adapun aturan puasa dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, Akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen, dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri dari kejahatan (tattaqun)”. Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk pada dirinya (R).

Akan tetapi selain arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham (ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban. Menurut bahasa Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin)” (45:19). “Allah mencintai orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin” (7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang baik” (38:49). Masih banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an Suci, orang muttaqi ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.

Disiplin rohani

Puasa menurut Islam, terutama sekali untuk melatih disiplin rohani. Dalam dua tempat (9:112; 66:5), Qur’an Suci menerangkan bahwa orang yang puasa itu disebut sa-ih (berasal dari kata saha, makna aslinya, bepergian), artinya musafir rohani. Menurut Imam Raghib, jika orang menjauhkan diri, bukan saja dari makan dan minum, melainkan pula dari segala macam kejahatan, ia disebut sa-ih (R). Pada waktu Qur’an Suci membicarakan puasa bulan Ramadan, tercantum satu ayat yang khusus menerangkan dekatnya manusia pada Allah, oleh karena dekatnya manusia dengan Allah itulah yang dituju oleh puasa. Lalu pada ayat itu ditambah kata-kata: “Maka hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku (dengan menjalankan puasa), dan beriman kepada-Ku, agar mereka dapat menemukan jalan yang benar” (2:186).

Dalam Hadits juga ditekankan bahwa tujuan puasa ialah untuk mencari ridla Ilahi. “Orang yang menjalankan puasa dalam bulan Ramadan, karena iman kepada-Ku dan mencari keridlaan-Ku” (Bu. 2:28). Nabi Suci bersabda: “Puasa itu perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor … dan sesungguhnya bau mulut orang yang puasa itu lebih harum, menurut Allah, daripada minyak kesturi, ia berpantang makan dan minum dan syahwat hanya untuk mencari ridla-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku” (Bu. 30:2). Tak ada godaan yang lebih besar daripada godaan untuk memenuhi gejolak makan dan minum apabila makanan dan minuman telah tersedia, namun godaan dapat diatasi, bukan hanya sekali atau dua kali, yang seakan-akan hanya kebetulan saja, melainkan berhari-hari sampai satu bulan lamanya, dengan tiada tujuan lain kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ia dapat saja menikmati makanan yang lezat, namun ia tetap memilih lapar; ia mempunyai minuman yang segar, namun ia tetap mengeringkan tenggorokkannya menahan dahaga. Ia tak mau menyentuh makanan dan minuman hanya karena ia sadar bahwa itu perintah Allah. Di dalam rumah yang sepi, tak ada orang yang tahu bahwa ia bisa membasahi tenggorokannya dengan segalas minuman segar, namun dalam batinnya telah berkembang perasaan dekat kepada Allah, hingga ia tak mau meneteskan setetes air pun ke dalam mulutnya. Apabila datang godaan baru, ia pasti dapat mengatasi itu, karena pada saat-saat kritis, terdengar suara batin: “Tuhan ada di sampingku, dan Tuhan melihatku”. Tak ada ibadah yang dapat mengembangkan perasaan dekat kepada Allah dan perasaan berada di samping-Nya, selain ibadah puasa yang dijalankan terus-menerus hingga satu bulan lamanya.

Adanya Allah, yang bagi orang lain baru pada tingkat iman, tetapi bagi dia sudah merupakan realitas, dan kenyataan ini hanya dapat dicapai dengan disiplin rohani yang menjadi dasarnya puasa. Kesadaran akan adanya hidup yang tinggi, lebih tinggi dari-pada hidup yang hanya untuk makan dan minum, telah menghayati dirinya, dan hidup itu ialah kehidupan rohani.

Disiplin Moral

Puasa itu juga dasarnya disiplin moral, karena, puasa merupakan tempat latihan, dimana manusia diajarkan akhlak yang tinggi, yaitu ajaran supaya manusia siap menghadapi penderitaan yang amat berat dan tahan menghadapi cobaan berat, dan pantang menyerah kepada sesuatu yang terlarang baginya. Ajaran itu diulang setiap hari hingga sebulan lamanya, dan sebagaimana latihan jasmani dapat memperkuat tubuh manusia, demikian pula melatih akhlak dengan puasa, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang terlarang, akan memperkuat segi moral bagi hidupnya. Pengertian bahwa segala sesuatu yang terlarang harus disingkiri, dan segala sesuatu yang buruk harus dibenci, ini hanya dapat dikembangkan melalui puasa. Dengan jalan puasa dapat dicapai pula Aspek yang lain bagi perkembangan akhlak manusia, yaitu menaklukkan nafsu jasmaninya.

Manusia mengatur waktu makan dengan berselang-seling, dan ini memang aturan hidup yang baik; tetapi puasa selama sebulan mengajarkan kepadanya ajaran yang tinggi, yaitu bahwa ia bukan lagi menjadi budak nafsu makan dan nafsu jasmaninya, melainkan ia menjadi majikannya, karena dapat mengubah haluan hidupnya sesuai dengan kemauannya. Manusia yang dapat menguasai nafsunya, yaitu mengendalikan nafsu itu sesuai dengan keinginannya, bahkan kekuatan batinnya begitu kuat sehingga ia dapat memerintah nafsunya, ia adalah manusia yang telah mencapai derajat akhlak yang paling tinggi.

Nilai Sosial Ibadah Puasa

Sebagaimana diuraikan dalam Qur’an Suci, puasa itu selain mempunyai nilai-nilai moral dan rohani, mempunyai pula nilai sosial yang lebih efektif daripada nilai sosial shalat. Pada waktu shalat, semua penduduk di sekeliling Masjid, baik kaya maupun miskin, orang besar maupun orang kecil, shalat berjamaah lima kali sehari di Masjid dalam kedudukan yang sama, dengan demikian, pergaulan masyarakat yang sehat dapat dicapai melalui shalat. Tetapi dengan tibanya bulan Ramadan, maka gerakan massa menuju persamaan derajat bukan saja terbatas di sekeliling Masjid, atau di seluruh negeri, melainkan mencakup seluruh Muslim di dunia. Mungkin orang kaya dan miskin berdiri bahu-membahu di Masjid, tetapi di rumah, mereka hidup dalam lingkungan keluarga yang jauh berbeda. Si kaya duduk menghadap meja yang penuh makanan enak, dan dengan makanan yang lezat ini mereka mengisi perutnya empat sampai enam kali sehari, tetapi si miskin, tak kecukupan untuk makan dua kali sehari.

Bagi si miskin seringkali merasakan lapar, sedang perasaan semacam ini tak pernah dirasakan oleh si kaya. Lalu bagaimana agar si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti si miskin dan menaruh simpati kepadanya? Jadi dalam rumah tangga terdapat perbedaan sosial yang menyolok antara dua golongan masyarakat, dan rintangan ini hanya dapat disingkirkan dengan membuat si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti saudara-saudaranya yang miskin, yang tempo-tempo satu hari penuh tak makan, dan pengalaman semacam itu harus mereka rasakan terus-menerus, bukan satu atau dua hari saja, melainkan selama satu bulan penuh.

Dengan demikian, orang kaya dan miskin di seluruh dunia Islam menjadi sama kedudukannya, yaitu hanya diperbolehkan makan dua kali sehari, yakni dikala buka dan sahur saja, dan walaupun makanan si kaya jauh berlainan dengan makanan si miskin, tetapi si kaya telah dipaksa untuk mengurangi menunya dan dipaksa makan yang lebih sederhana, sehingga si kaya semakin dekat dengan saudara-saudaranya yang miskin. Sudah tentu perilaku semacam itu akan menimbulkan rasa simpati terhadap kaum miskin. Oleh sebab itu, khusus dalam bulan Ramadan, orang diperintahkan untuk banyak mengeluarkan sedekah, terutama sedekah fitrah guna menolong kaum fakir miskin.

Dari : Kitab Islamologi, Bab. Saum Oleh : Maulana Muhammad Ali MA. LLB